8/02/2013

Untaian Tasbih dari Indrakila



   
Minggu itu, sang mentari tertutup oleh tebalnya kabut mendung yang sejak fajar menaungi desa yang berada dikaki sebuah bukit Indrakila Banjarnegara. Lalu lalang perempuan-perempuan yang hendak pergi ke ladang, ke sungai maupun hendak ke pasar selalu menghiasi jalan-jalan desa disetiap paginya. Nama bukit yang telah menjadi ikon desa itu ternyata lebih dikenal sebutannya oleh masyarakat luas ketimbang nama yang diberikan oleh pemerintah dengan nama Desa Sudi Makmur. Nama-Nama sekolah, Lembaga masyarakat maupun instansi-instansi disanapun lebih dominan menggunakan nama bukit Desa itu.

     Waktu menunjukkan  pukul 06.30. seorang pemuda yang sedang menyeret kopernya dan menenteng ransel yang cukup besar tengah berdiri memandangi sebuah rumah kecil dengan tatapan yang begitu lesu. Ridwan namanya, seorang pemuda berkopyah dengan perawakan yang tinggi dan berkulit putih itu terasa berat ingin meninggalkan Rumah yang selama hampir tiga tahun ia tempati. Rumah itu merupakan rumah salah satu KAUR desa yang juga menjadi rumah tinggalnya
selama dia menimba ilmu di SMU Negeri 1 indrakila. Rumah itu juga telah menjadi tempat yang penuh kenangan bagi Ridwan karena selain menimba ilmu di Sekolah, dia juga mendapat didikan Agama yang cukup baik dari seorang KAUR desa yang tak lain adalah Paman Ridwan sendiri yaitu Pak Damiri.
     Ridwan adalah seorang pendatang yang akan segera pulang ke daerah asalnya di salah satu Kabupaten di Kalimantan Timur. Kakaknya yang seorang pejabat pemerintahan itu menelepon dia untuk segera pulang karena Ayahnya yang terus sakit-sakitan. Sekitar Dua setengah tahun lalu ayahnya menyuruh Ridwan pergi merantau karena ia ingin mengubah perilaku dan pola pikir Ridwan yang dikala SMP penuh dengan kenalan yang menyimpang dari nilai-nilai agama. Ayah Ridwan teringat akan Pak Damiri,sang adik di Banjarnegara yang seorang lulusan dari Pondok Pesantren Tebu Ireng Jatim. Pak Damiri juga mempunyai TPQ yang tak jauh dari rumahnya.Setelah dua tahun lebih Pak Damiri mendidik Ridwan belajar baca tulis alquran, Ridwan kini telah diberi kepercayaan untuk mengajar Anak-anak mengaji di TPQ tersebut, yang berarti bahwa sekitar setengah tahun pula Ridwan telah mengajar anak-anak hingga hari kepulangan dia ke tempat asalnya di Kalimantan Timur.
     Langkah kaki Ridwan terus berjalan. tak jauh melangkah, Ridwan berhenti di depan salah satu bangunan kecil dengan dua ruang yang didalamnya terdapat tumpukan meja-meja panjang dan masing-masing ruang terdapat satu papan tulis hitam yang selalu dipakai dia untuk mengajar anak-anak disana. bangunan itu adalah TPQ milik pak Damiri. linangan air mata Ridwan spontan jatuh menetes membasahi sepatunya. Teriakan kemarahan Ridwan disaat menyuruh anak-anak untuk diam, hingga pujian Ridwan disaat mereka menjadi juara lomba keagamaan antar sekolah telah meluluh lantahkan hati ridwan pagi itu. Dalam keharuan  itu, pandangan Ridwan tertuju pada sebuah tasbih yang dikalungkan di lehernya. tasbih itu terbuat dari bulatan manik-manik yang dibuat oleh seorang gadis Desa tersebut yang juga salah satu pengajar di TPQ pak Damiri untuk anak-anak perempuan. Dialah Fitria Hasanah, Ridwan menganggilnya Fitri. Fitri merupakan siswi kelas dua, sedangkan Ridwan sendiri merupakan siswa kelas 3 di SMU yang sama. Fitri adalah sosok gadis yang  sejak kecil mendapat didikan Agama yang kuat dari keluarganya serta pengajaran dari TPQ yang pak Damiri punya. Fitri sosok kebanggaan Pak Damiri karena seringnya mendapat juara dalam lomba qiro’ah sampai ke tingkat Propinsi. Seringnya Ridwan bertemu di TPQ setiap sore untuk mengajar itu membuat Ridwan mengagumi sosok Fitri. Ridwan menganggap Fitri adalah Gadis yang selalu memancarkan sinar keteduhan dihari-hari perantauannya. tidak ada sedikitpun dibenak Ridwan untuk berbuat yang tidak-tidak kepadanya. bagi Ridwan, Fitri merupakan sosok perempuan suci yang diinginkannya kelak di kemudian hari. Namun kini keadaan telah memaksa Ridwan untuk meninggalkan itu semua.
    Kabut Dingin perlahan hilang, matahari pun mulai memberikan kehangatan pagi itu. Ridwan mencoba tegar selama menunggu angkutan yang akan membawa dia meninggalkan Desa Indrakila. Angkutan desapun tiba, hal yang tidak diinginkan Ridwan terjadi. disaat Ridwan mengangkut kopernya untuk diletakkan diatas angkot, kalung tasbih Ridwan putus terkena pegangan kopernya.
 “Ya Alloh, pak…pak.. sebentar!!” teriak Ridwan kepada supir angkot.
“ aduh mas, ki karyawan-karyawan pabrik wis pada nunggu. takute mereka terlambat kerja” jawab Pak supir.
Ridwan yang mencoba untuk mengambil untaian manik-manik tasbih itu mengurungkan niatnya karena merasa tidak enak kepada para karyawan pabrik yang memang hendak bekerja. Ridwan segera mengumpulkan manik-manik yang masih berada dikemejanya. . Hati Ridwan merasa kecewa dan sedih melihat beberapa butiran tasbih yang jatuh di  rerumputan pinggir jalan. Ridwan telah berjanji kepada Fitri untuk menjaga tasbih itu satu hari sebelumnya. di sabtu sore itu mereka bertemu dan saling mengucapkan salam perpisahan. Ridwan memberi Buku Agenda kepada Fitri untuk dijadikan goresan disetiap keluh kesahnya, sedang Fitri memberi Ridwan Tasbih coklat. tidak ada kata-kata yang melambangkan hubungan diantara mereka. antara perasaan malu dan segan kepada Fitri membuat Ridwan untuk tidak mengeluarkan perasaan yang sebenar-benarnya kepada Fitri.
     Enam bulan berlalu. Ridwan telah menyelesaikan SMU nya di Kaltim dengan mendapat peringkat pertama dan terbaik di Sekolahnya. Ayah Ridwan pun sudah membaik kesehatannya. Ayahnya mengetahui betul cerita-cerita disaat Ridwan merantau, baik dari Paman Ridwan maupun dari Ridwan sendiri. Ridwan telah tumbuh menjadi seorang anak yang diharapkan oleh ayahnya, Taqwa, berprestasi, dan berbakti kepada orang tua. Tapi ada salah satu hal yang menjadi konsentrasi ayah Ridwan kala itu. ya, melanjutkan kuliah dimana. itulah hal yang ingin ditanyakan kepada Ridwan.  tawaran bea siswa dari salah satu Universitas ternama di Kaltim tidak diterima oleh Ridwan. cita-cita yang diinginkan Ridwan adalah Ingin menjadi Dokter, sedangkan Universitas itu telah memberikan penawaran di bagian Fakultas Fisipol. Ayah Ridwan tahu bahwa selama ini Ridwan telah memendam perasaan yang dalam kepada Fitri. dengan keberanian, sang ayah menanyakan hal itu kepada Ridwan.
“ Ridwan, Ayah tau kamu ingin kuliah di Jawa, ya kan?” Tanya sang Ayah.
Ridwan yang pagi itu sedang duduk-duduk diteras rumah segera berdiri dan mendekati sang ayah…
“ Yah, bagaimana Ayah tau hati Ridwan?” kata Ridwan.
“ Apakah kamu lupa akan Fitri yang telah kamu ceritakan kepada Ayah waktu itu, dirumah ini sudah ada pak Karso yang menemani Ayah. jadi gak usak kawatirkan Ayah, lagian Ayah juga dah sembuh total dari Diabetes. Ayah masih belum lega kalau cita-cita putraku belum kesampaian.kamu ingin jadi Dokter handalkan?, jadi tolong bahagiakan ayahmu ini”.jelas Sang Ayah.
tanpa kata-kata, Ridwan segera memeluk Sang Ayah penuh senyum lebar kebahagiaan.
     Tahun Ajaran 1999 segera tiba. Sejak Ridwan meninggalkan Banjarnegara, hanya sekali Ridwan berbicara dengan Fitri. itu saja Fitri harus datang ke tempat wartel pak Kades yang lumayan jauh jaraknya dari rumah Fitri. saat itu Fitri di panggil Pak kades desa Indrakila karena dapat telepon dari Ridwan. Karena memang tidak ada hubungan yang pasti diantara mereka, Ridwan sungkan untuk menelepon kembali. dalam percakapan itu memang tidak ada kata-kata yang pasti antara mereka. hanya pertanyaan mengenai kabar dan berita saja yang terungkap.
   Hari itu, Ridwan memberanikan diri untuk menulis surat buat Fitri. isi surat itu mengenai rencana Ridwan yang akan melanjutkan Kuliah di Jawa. ini berarti akan ada kesempatan untuk mereka bertemu kembali.
Seminggu sudah surat itu terkirim dan belum ada balasan dari Fitri. Tukang pos yang hampir tiap hari lalu lalang didepan rumah Ridwan selalu ditunggunya, berharap akan ada satu surat dari Fitri untuknya. beberapa surat memang telah datang untuk Ridwan, namun isi surat itu hanyalah tawaran-tawaran universitas atau akademi-akademi di Kalimantan yang mencoba menawarkan Ridwan untuk menjadi Mahasiswanya.
"wan, Ridwan!!! ini ada pak pos kasih surat, katanya buat kamu". teriak Ayah Ridwan.
"dari siapa yah?" teriak Ridwan yang sedang sibuk mengurusi ikan-ikan dikolam belakang.
" kurang tau Wan, tapi di stempel pos ada tulisan Banjarnegara".jawab Ayahnya
mendengar jawaban sang ayah, Ridwan segera meletakkan pelet ikan yang masih tersisa di plastik dan langsung berlari kedepan menemui sang ayah.
"Mana yah, sini biar Ridwan buka". ketus Ridwan.
"ehmm..." Sindir sang ayah.

Kepada,

 Mas Ridwan di Samarinda.

Semoga Mas Ridwan senantiasa dalam lindungan Alloh SWT disana. surat yang Mas Ridwan kirim sudah sampai ke tangan Fitri. Fitri senang sekali mendengar kabar gembira dari Mas Ridwan.Alhamdulillah Ayah Mas Ridwan sudah sembuh dan Selamat ya atas prestasi yang mas Ridwan raih. yang membuat Fitri lebih senang lagi adalah mendengar kabar bahwa mas Ridwan akan melanjutkan Kuliah di Jawa, benarkah itu mas? kalau benar jangan lupa untuk menemui Kami. Anak-anak TPQ juga selalu menanyakan tentang Mas Ridwan. Pak Damiri juga pernah berbicara sama Fitri kalau dia Rindu sosok pemuda seperti Mas Ridwan.
saat dihari kepergian Mas Ridwan dari desa Indrakila,sebenarnya Fitri mencoba untuk menemui Mas Ridwan, namun Fitri ketiduran selepas Sholat Shubuh. Saat terbangun,baru sadar kalau waktu menunjukkan pukul 07.00 mas. Fitri kejar sampai jalan raya namun Mas Ridwan nampaknya sudah naik angkot. saat itu kegelisahan Fitri timbul karena fitri menemukan beberapa butir tasbih yang berceceran di jalan. Fitri yakin kalo butiran itu adalah bagian tasbih yang Fitri berikan kepada Mas Ridwan. Sempat pikiran negatif muncul dibenak Fitri. tapi Fitri yakin, Mas Ridwan nggak akan melakukan hal itu. kini sembilan butir manik itu masih tersimpan utuh di lemari fitri.oh ya... Sekarang Fitri naik ke kelas 3. dua minggu lagi Fitri akan mengikuti lomba Qiro'ah Nasional mewakili propinsi Jawa Tengah. Doakan Fitri semoga menang ya Mas Ridwan. dan tolong kabari Fitri bila telah berada di Jawa. 
sekian Surat dari Fitri, semoga Mas Ridwan ingat selalu kepada kami.
Salam hangat dariku,

Fitria Hasanah.

Senyum kegembiraan Ridwan muncul seketika. belum pernah ayahnya memandang Ridwan sebahagia itu. rasa penasaran Ayahnya muncul dan segera ingin membaca surat itu juga. Ayahnya yakin, sebesar-sebesarnya rahasia yang dimiliki Ridwan pasti akan diceritakan kepadanya. sembari tersenyum malu, Ridwan mengulungkan surat itu kepada sang ayah. beberapa saat Ayah Ridwan begitu serius membaca isi surat, sang ayah mengangguk-anggukkan kepala dan seketika itu pula pundak Ridwan dirangkul oleh tangan kanan sang Ayah dengan sangat mantabnya.
"wish your dream come true my son... come on  !! heheheheee.." kata Ayah Ridwan.
pak karso pembantu Ridwan yang selalu menemani ayahnya pun ikut penasaran melihat kegembiraan mereka berdua. sambil menutup pagar tralis depan rumah, dia pun bertanya,
"ada kabar apa to, kok sepertinya Gembira sekali?"
"ahhh, pak Karso... pengen tau aja, ini urusan Anak muda...haha" jawab Ridwan dengan candaan
Ridwan segera merebut surat itu kembali dari tangan Ayahnya dan langsung menuju kekamarnya yang berada di lantai dua. berkali-kali surat itu dibaca oleh Ridwan tanpa rasa bosan. Teringat salah satu kalimat mengenai tasbih di surat itu, Ridwanpun mengambil tasbih pemberian Fitri yang rusak saat berada diangkot. sebenarnya kekurangan manik-manik tasbih itu telah dilengkapi Ridwan satu hari setelah kepulangannya dari Banjarnegara meski dengan manik-manik yang berbeda warna. namun Ridwan tidak begitu ingat berapa jumlah butiran manik yang sebetulnya hilang. dengan menghitungnya kembali manik-manik tasbih itu, Ridwanpun terkejut.
"Subhanalloh.... ternyata benar, ada sembilan butir yang hilang." terkejut Ridwan melihat kejadian semua ini, dia sungguh tidak menyangka semua ini bisa terjadi. dengan penuh semangat, Ridwan segera membuka Jendela kamarnya.
" Indrakila.......... Aku datang.....!!! "

teriakan Ridwan untuk alam sekitar di sore itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar